Kamis, 17 November 2011

kerinduan dan maaf (part2)

Sungguh aku tak mampu mengucapkan apapun...
bahkan tubuh ini rasanya lemas tak bertulang.

lihatlah ! tubuhnya begitu lemah. Matanya begitu kosong. wajahnya, begitu kusut. rambutnya, begitu masai. dan... astaga ! kenapa auranya begitu menyedihkan?

sungguh aku tak mampu mengucapkan apapun lagi...
bahkan kelu sekali rasanya lidahku untuk sekedar bertanya, sudah makan?

mata (kosong)nya berusaha menelusuri siapa yang baru saja datang.
aku berada persis di hadapannya, tapi ia tidak mengenaliku.
matanya kembali beredar, berusaha mempelajari suasana yang berubah.
entah itu apa, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda.


Rabu, 02 November 2011

kerinduan, dan maaf

kami baru saja tiba. perlahan menapaki tangga teras berkeramik merah. 
masuk ke rumah tua, yang dulunya bilik bambu kini sudah bertembok bata. lengkap dengan catnya.
kebanyakan di daerah yang masih kampung temboknya acian. hanya berlapis semen, abu-abu.

banyak orang telah menanti kehadiran kami. karena, memang hanya kamilah yang mampu diandalkan ditengah situasi yang cukup sulit. 

kehadiran kami telah membangunkannya. ia pun terduduk. aku tak menyangka keadaannya akan seperti ini. rambutnya kusut masai. kumis dan jenggotnya putih, meski tak panjang, namun terlihat benar kalau dirinya tak terurus. Tubuhnya tidak setegap dulu. kakinya gentar, sempoyongan saat mencoba bangkit. masih ngantuk. baru saja bangun. baru saja membuka mata.

biasanya orang yang bangun tidur akan merasa kaget saat melihat ada lebih dari 5 orang berada disekitarnya. kaget, karena tadi sebelum tidur suasananya sepi. tapi tidak terjadi padanya. 
laki-laki itu hanya duduk terdiam, mencoba mencari. namun, tatapannya layu untuk dikatakan tidak kosong. 
entah apa yang dicarinya, karena ia hampir saja tidak mengenali orang-orang disekitarnya.

aku yang masih terkejut dengan apa yang baru saja aku lihat, duduk perlahan di dekatnya. 
menatap penuh rasa iba, sedih, kecewa, marah, sayang, entahlah apa rasa itu... empati ? ah, lebih dari itu.
menyaksikannya dengan tubuh seperti itu saja sudah membuat hatiku miris. 
apapula saat ia tak mengenaliku, darah dagingnya. bisa dibilang, anak kesayangannya.

tangisku tertahan, sungguh. belum setetespun mengalir. menahan.



my review on goodreads

Pukat (Serial Anak-anak Mamak, Buku 3)Pukat by Tere Liye
My rating: 5 of 5 stars

buku ini membuat saya begitu bergetar. mamak yang galak, tapi penuh cinta dan kasih sayang. bapak yang lembut, namun penuh ketegasan.
mereka adalah contoh orang tua yang baik dalam mendidik anak2nya.

jaman sekarang, masih nemu gak ya orangtua yang kaya mereka ? atau, anak-anak macam pukat ?

View all my reviews