Rabu, 02 Mei 2012

Histeria Suju Vs Apatisme Masyarakat

Ane lagi jalan jalan di Republika.co.id, nemu artikel yang 'menguncang' diri ini. Tersadar, bahwa sesungguhnya, itulah yg sedang terjadi saat ini.

Seyogyanya, anak muda adalah ujung tombak satu negara. Kenapa ? karena kitalah penerus bangsa dikemudian hari, yang akan menggantikan deretan generasi tua sekarang. Kita akan duduk di kursi-kursi mereka. Menjalani peran, seperti mereka.

Saat anak muda, memilih untuk Tak Peduli dengan keadaan negara tercinta ini. maka, bagaimana jadinya bangsa ini di kemudian hari ?




Histeria Suju Vs Apatisme Masyarakat : Isu pemberitaan dalam negeri tak lepas dari aneka wacana buruk yang terjadi. Wajar jika masyarakat negeri ini mulai apatis. Kepekaan terhadap isu yang berkaitan dengan negeri ini kian menipis. Paling-paling masalah korupsi, perebutan kursi, atau saling menjatuhkan menjelang pemilu. Sangat jarang berita yang sampai ke hadapan masyarakat berupa prestasi atau kebanggaan negeri. 
Wajar, jika datangnya Super Junior (Suju) di ibu kota menyedot banyak massa. Seolah sebagai tumpahan rasa penat, berbondong-bondong masyarakat mendatangi Mata Elang International Stadium, Ancol, Jakarta Utara.
Fenomena Suju menjadi magnet kuat tak hanya bagi warga ibu kota. Kocek ratusan ribu hingga jutaan rupiah pun tak segan dikeluarkan demi menatap wajah sang idola.
“Ah, daripada pusing-pusing mikirin negara yang semakin tak karuan, mending have fun nonton kegantengan boy band number 1 Korea itu.” Anggapan demikian, lumrah terlontar dari sebagian masyarakat terlebih para remajanya. Terdapat banyak hal serius yang menjadi imbas jika hal ini terus dibiarkan.
Pertama, berubahnya orientasi pemuda Indonesia. Bayangkan, jika sebagian besar pemuda Indonesia tersedot arus apatis, maka kehancuran kian dekat di hadapan. Bahkan, Adian Husaini (2012) dalam bukunya Pendidikan Islam menuturkan kalimat M. Natsir tentang hal ini.
“Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan RI, M. Natsir melalui sebuah artikelnya yang berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut”, Natsir mengingatkan bahaya besar yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu mulai memudarnya semangat pengorbanan.” 
Saat ini, kita telah berada pada posisi 60 tahun lebih terpaut dari awal kemerdekaan Republik Indonesia. Pemuda yang digadang menjadi motor perubahan di masyarakat, kian terlena dengan buaian hiburan semu yang semakin beragam. Masalah bagaimana memperbaiki SDM (sumber daya manusia) maupun sistem di negara ini seakan jauh asap dari panggang.  Padahal, dua hal itulah yang menjadi pangkal semua permasalahan negeri ini (Karantiano, 2012, dalam penyampaian materi Syumuliatul Islam). 
Kedua, melambatnya pembangunan negeri. Penggerak roda pembangunan bangsa yakni para pemuda yang hampir seluruhnya berada di usia produktif. Lebih dari 50% penduduk negeri ini berada di usia produktif (BKKBN). Pemuda selayaknya menjadi inisiator pergerakan untuk segala aspek kehidupan di negara ini. Ketiadaan kontribusi pemuda, perlahan namun pasti menyeret bangsa ini pada kemunduran. 
Inovasi dan aplikasi gerak nyata pemuda, akan mandeg lantaran fokusnya beralih kepada hal yang tidak memiliki signifikansi terhadap pembangunan bangsa. Tak ayal, negeri ini kian sulit menemukan orang-orang yang memiliki kepakaran ilmu. Ditambah lagi, bangsa yang besar ini kian terjajah lantaran produk negeri orang kian mendominasi. Perusahaan-perusahaan asing menjamur di tanah pertiwi. Jadilah kita budak di negeri sendiri, hanya menikmati segelintir manfaat dari kerukan alam kita. 
Datangnya Super Junior ke negeri kita, setidaknya bisa menjadi tolak ukur antusiasme masyarakat. Selayaknya pemerintah negeri ini belajar dari hal tersebut. Betapa kalimat, “Assalamu’alaikum, saya suka Indonesia gadis,” dari mereka saja sudah mampu menyihir jutaan penontonnya.
Maka, seharusnya kata-kata, tindakan, maupun kebijakan dari pemerintah menjadi hal yang bisa lebih diapresiasi masyarakat, terutama dari sisi manfaatnya. Jangan sampai, masyarakat semakin merosot tingkat kepercayaannya pada pemerintah. Bisa-bisa, golongan putih (golput) negeri ini semakin menjamur.

“Lagian, siapa saja yang memimpin, toh, tak ada bedanya.” 


Mungkinkah kita lupa, bagaimana anak muda dulu bersemangat sekali memperjuangkan kemerdekaan? Mungkinkah kita lupa, kejadian Rengasdengklok, saat Soekarno diculik oleh pemuda yang mendesak untuk kemerdekaan ? bagaimanalah lupa... bila tak ada kaum muda yang mendesak Soekarno masa itu, mungkin NKRI takkan lahir pada tanggal 17 Agustus 1945.
Bersemangatlah, untuk terus berkarya !

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/12/05/01/m3bpvn-histeria-suju-vs-apatisme-masyarakat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

blogger yang baik, selalu meninggalkan jejaknya ;)

my review on goodreads

Pukat (Serial Anak-anak Mamak, Buku 3)Pukat by Tere Liye
My rating: 5 of 5 stars

buku ini membuat saya begitu bergetar. mamak yang galak, tapi penuh cinta dan kasih sayang. bapak yang lembut, namun penuh ketegasan.
mereka adalah contoh orang tua yang baik dalam mendidik anak2nya.

jaman sekarang, masih nemu gak ya orangtua yang kaya mereka ? atau, anak-anak macam pukat ?

View all my reviews