Selasa, 30 Juli 2013

Trip To Baduy

Liburan akhir tahun 2012 memang sudah lewat sepekan. Tapi, bukan berarti ga bisa liburan dong ?
Seorang teman membawa saya pada satu komunitas, backpacker indonesia. Cuma ikut-ikutan aja sih, mengisi liburan yang tertunda. Batal ke Pangrango, dan memutuskan untuk ikut teman-teman baru ini ke Baduy.

Perjalanan saya pagi itu dimulai dari stasiun Klender Baru, stasiun terdekat dari rumah, naik KRL Commuterline ke stasiun Tanah Abang. Transit dulu ke stasiun Manggarai, untuk kemudian naik Commuterline ke Stasiun Tanah Abang.

Di Tanah Abang,kami janjian di depan ATM BRI. Setibanya disana, sudah ada sekumpulan orang yang hampir seluruhnya belum saya kenal. Maklum, baru sekali ini saya ikut trip bareng komunitas ini. Kenalan dengan beberapa orang yang ternyata sudah saling mengenal dengan trip-trip sebelumnya. wah, gak nyangka bisa dapet banyak teman baru dari berbagai kalangan disini.

Puluhan tiket dibagikan oleh Koordinator tim ke masing-masing peserta. Tertera tiket bertuliskan "Rangkas Jaya" tanpa tempat duduk, Rp 4000,- saja. Segera kami menuruni anak tangga menuju peron 6, kereta sudah terparkir disitu. Sesuai dugaan saya, kereta ini mirip dengan kereta ekonomi jarak jauh lainnya. Mirip dengan kereta Progo (tujuan Jogja). Penumpang bebas memilih duduk dimana saja. Hebatnya, tidak ada pedangan asongan disini. Hanya ada petugas berpakaian putih-hitam, mondar mandir menawarkan makanan/minuman, pedagang resmi diatas kereta.

Rangkas Jaya melaju perlahan tepat pada pukul 7.50 menuju sisi barat Kota Jakarta, tujuan akhir stasiun Rangkas Bitung. Pertama kalinya  naik kereta menuju Sisi Barat Jakarta. Melewati stasiun-stasiun seperti Palmerah, Serpong, Rawa Buntu, dsb. - yang tadinya hanya saya lihat di papan petunjuk KRL Commuterline. hehehe

Perjalanan ini cukup menyenangkan, gak nyangka, baru sadar, kalau Tangerang itu dekat dengan Bogor. Sepanjang perjalanan kira-kira masuk Serpong, kita bisa lihat keindahan barisan Gunung Gede-Pangrango. Gunung yang selalu saya rindukan. Kapan-kapan saya ceritakan ya :)

Pukul 9.30 tepat Rangkas Jaya terparkir di salahsatu peron Stasiun Rangkas Bitung. Kelompok berkumpul diterminal sisi belakang stasiun, naik mobil tanggung menuju Ciboleger. Orang kita biasanya sebut dengan mobil Elep, meskipun ditulis Elf Colt. :)


Mobil meluncur membelah Provinsi Banten, menuju Ciboleger di Kabupaten Lebak. Pukul 10.14 Tepat, mobil menderum, tanda bahwa mobil ini menggunakan mesin diesel, agak menganggu telinga memang tapi cukup untuk membuat kami tidur terlelap sepanjang perjalanan. Meski kepala ini berkali-kali terantuk karena jalan yang kami lalui ternyata sudah memasuki daerah pedesaan. Jalan berliku, turunan tajam, membuat mata ini tiba-tiba saja menjadi segar, berusaha menangkap pemandangan nan asri dari kaca mobil.

Kucatat pukul 11.25 iring-iringan rombongan kami tiba di Ciboleger. Mirip terminal kecil menuju tempat wisata pada umumnya. Gak perlu khawatir sulit mencari snack, atau minuman ringan, sudah ada Gerai waralaba Alfmart lho, dan fasilitas lainnya seperti tukang souvenir khas baduy, Toilet umum, atau warung makan. Istirahat sejenak disini. Istirahat, Sholat, Makan.

Kami bersiap berangkat menuju Baduy Dalam, pukul 13.00  berangkat dari Ciboleger. Sebuah perjalanan yang berkesan, bertemu penduduk asli Baduy, yang katanya jauh dari hingar bingar peradaban modern. Karena sedang musim hujan, sebaiknya mulai menyiapkan Ponco/Raincoat, dan gunakan sepatu/sandal tracking yang aman.

Baduy Dalam terletak kurang lebih 12 KM dari Ciboleger. Perjalanan ditempuh dengan jalan kaki selama kurang lebih 3-4 jam. Lamanya perjalanan tergantung dari seberapa biasa orang tersebut melakukan tracking. Medan yang dilalui cukup sulit, jalan terjal menanjak, atau curam kebawah. Apalagi, sedang musim hujan seperti ini, sangat belok, tanah merah. Di Ciboleger banyak anak-anak sekitar menjajakan tongkat kayu, yang ternyata sangat membantu perjalanan menghadapi medan yang sangat licin. Tanah yang dilalui tanah merah, jadi akan sangat sangat becek saat musim hujan seperti ini. Sepatu Tracking sangat cocok untuk medan becek. Agar kaki tetap dalam posisi yang nyaman, tidak keseleo.

Tim kami ditemani oleh beberapa orang dari Suku Baduy Dalam sebagai guide kami. Memanfaatkan kesempatan, aku banyak bertanya soal kehidupan suku Baduy Dalam. Rekan seperjalananku, namanya Syafrie. Dia sangat fasih berbahasa Indonesia. Bahkan, sedikit-sedikit dia nginggris.

Aturan ke Baduy Dalam
Ada beberapa peraturan yang harus ditaati pengunjung manapun menuju ke Baduy Dalam. Inilah hebatnya masyarakat Baduy. Dengan kesederhanaannya menjaga apa yang diwariskan leluhur mereka ditanahnya. Melestarikan hutan, dan sangat menjaga adat istiadatnya.

Bersama Suku Baduy Dalam - Baduy Luar
Diantaranya ialah tidak membawa Radio, apalagi sampai membunyikannya. Tidak merokok. Tidak Berfoto. Penting sekali untuk mematuhi aturan yang ada. Berkunjung ke suatu wilayah yang sangat menjaga adat istiadatnya, maka sudah sewajarnya kita sebagai tamu, menghormati aturan adat istiadat setempat. Seperti pepatah, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.


Aku, Syafire, dan beberapa rekan seperjalananku yang tetap konsisten berada di barisan paling depan. Melewati 2 jembatan bambu, berjalan diatas sungai yang mengalir deras membelah hutan baduy. Tiba di jembatan kedua, adalah batas Baduy Dalam dengan Baduy Luar. Artinya, selepas jembatan ini tidak lagi diperkenankan ambil foto.


Syafri,Bang Marta,Aku
Gerbang Baduy Dalam
Setelah lewat gerbang Baduy Dalam, maka kita akan bertemu dengan tanjakan yang curam, serta cukup panjang. Syafrie bilang, tanjakan ini disebut orang-orang Jakarta "Tanjakan Cinta". Yah, memang mirip tanjakan cintra di Ranu Kumbolo. Bedanya, ini tidak berpasir, tanah merah yang sangat becek.

Diujung tanjakan, kurang lebih 30 menit dari situ, kembali akan kita temukan Leuit, lumbung padi masyarakat Baduy. Inilah kearifan lokal yang masih sangat dijaga. Berkat lumbung ini, masyarakat Baduy tak pernah kekurangan beras. Meskipun panen paling banyak hanya 2 kali. Masyarakat Baduy tidak mengenal irigasi. Ladang tadah hujan. Tergantung pada hujan yang turun dikawasan Baduy.

Kembali melanjutkan perjalanan sedikit turunan, kemudian kita bertemu sungai beraliran deras, bisa menyebrang disungai kalau mau, tapi aku pilih lewat bambu saja. Hujan yang turun membuat perjalanan ini cukup berat. Aku bisa menyamakan ini dengan pendakian ke Gn. Gede, tapi ini tracknya lebih dahsyat, naik-turun bukit, becek, jembatanpun jadi licin. Tapi itu semua terbayar, saat melihat deretan rumah penduduk Desa Cibeo, Baduy Dalam.

Suasana tenang, meskipun banyak orang disana. Yang berisik ya dari pendatang seperti kami. Saat rombongan kami tiba (aku dan 5 orang lainnya adalah yang kelompok pertama yang tiba dari Tim) pukul 17.00, sudah ada beberapa orang dari tim lain. Beda penyelenggara acara.

Kami segera mencari guest house tujuan, rumah Syafri. Saat kami tiba, istri Syafri yang cantik sekali sedang bergegas membawa anaknya pergi ke ladang. Ada semacam ritual di ladang, menjelang penanaman padi. Sungguh ini semua berbeda jauh dari bayanganku. Orang Baduy yang ku kira hitam, legam. Ternyata, putih bersih. Amboy, cantik sekali istri Syafri.

Kami berlima disambut dengan baik oleh ibunya Syafri. Kami sedikit rapi-rapi, belum mandi. Sambil nunggu teman-teman yang lain datang. Ngobrol ngalor ngidul sama 2 pasang suami istri ini. Duh, iri sekali. Sambil berazzam dalam hati, jika harus kembali lagi kesini, haruslah sama suami. :)

Suasana menjelang magrib, ternyata ada beberapa penjual Souvenir khas Baduy. Aku sempatkan beli beberapa gantungan kunci untuk oleh-oleh. Dirumah Syafri, ternyata juga dititipi barang-barang serupa. Ada syal tenun khas Baduy, tenunan yang cukup panjang dan lebar, cukup untuk membuat Rok. Serta, madu asli Baduy.

Saat masuk waktu magrib, ada bunyi hewan yang sangat khas. Seperti Jangkrik, tapi bunyinya tidak putus-putus. Mendengkur panjang. Rekanku seperjuanganku bilang, itu tanda magrib. Kalau dikampung-kampung akan terdengar bunyi hewan itu.

Disana, sejenak tubuh, hati, serta pikiran di istirahatkan dari gemerlapnya Kota Jakarta. Tidur diatas papan bambu, makan makanan yg dimasak dari tungku perapian, mandi di pancuran yang segar, air yg seolah tiada henti mengalir. Meresapi senyapnya hidup di lingkungan yang sangat dijaga.

Malam itu, aku baru tahu loh. Ternyata, Kepala Suku Baduy tidak dapat ditemui oleh pendatang. Kepala Suku hanya bisa ditemui oleh warga asli. Kepala Suku hadir di upcara adat. Atau pertemuan warga lainnya. Selain itu, di Baduy terdapat hutan larangan. Hutan yang tidak boleh dijamah oleh warga. Secara logika, bagiku ini adalah cara Masy. Baduy menjaga kelestarian hutan. Menggunakan hutan dengan arif dan bijaksana, adalah hal yang jarang ditemui di daerah lainnya.

Masyarakat Baduy, hidup dalam kesederhanaan. Meskipun, mereka sebenarnya punya uang lebih dari cukup untuk membangun rumah mewah. Tidak ada satupun rumah dengan bntuk yang berbeda. Menggunakan bahan yang sama, tipe yang sama, ukuran yang hampir sama. Tidak ada ajang pamer harta, tidak ada perhiasan berlebih. Penampilan yang hampir sama, warna baju hitam atau putih.

Orang Baduy punya beberapa larangan. Yang paling pantang adalah naik kendaraan dan beralas kaki. Sekalipun mereka tak boleh dan tak pernah memakai alas kaki, dan naik kendaraan. Atau akan menanggung akibat dari perbuatannya itu. Jadi, mereka itu kalau mau ke Jakarta, ya jalan kaki. Syafri bilang, butuh waktu 3 hari untuk ke Jakarta. Kegiatan Jalan Kaki ke Jakarta ini, bukan tanpa tujuan. Mereka sering mendapat undangan dari Instansi Pemerintah. Atau, orang Baduy yg sering ke kantorku ya jualan madu. Kegiatan ini dilakukan oleh laki-laki. Ibu syafri bilang, perempuan gak kuat untuk jalan kaki sampai Jakarta. Paling jauh, ya sampai rangkas bitung.

Perjalanan malam itu, ditutup dengan makan malam. Hampir jam 10 untuk makan. Banyak teman yang mengalami kendala dalam perjalanan. Jalanan yang licin, dan sangat belok membuat beberapa teman cedera. Dan harus menunggu bantuan untuk penjemputan. Alhamdulillah, gak ada yg cedera serius. Perut kenyang, waktu yg tepat untuk tidur. Meski beralas seadanya.

****
Pagi-pagi sekali, kami harus bangun. Bergegas, untuk segera kembali ke Jakarta. Tepat jam 08.30, kami meluncur pulang. Rute pulang tidak sama dengan sebelumnya. Beberapa mengusulkan untuk lewat jembatan akar. Aku juga penasaran. Mempertimbangkan jalanan yg sangat licin kemarin, sepertinya kami harus lewat Jalan lain. Jalan yang melewati danau. Masih belum bisa foto, jadi ya gak ada gambar untuk jalan ini. :)
On My Way to Ciboleger

Perjalanan ditempuh kurang lebih 5 jam lebih. Hampir sama dengan perjalanan berangkat. Lelah, letih, tapi gak lesu. kami tetap semangat menghadapi medan pertempuran yang amat sangat sulit. Kami melewati satu wilayah yang sangat becek. Kakiku tercebur selutut. Harus hati-hati sekali. Diperjalanan bertemu dengan beberapa rombongan kaum ibu yang membawa bayi. Kami sangat terkagum-kagum. Medan begitu berat, mereka membawa beban, tanpa alas kaki, licin pula, tapi tak sedikit pun mereka ragu, atau terlihat kesulitan. Beda betul sama kami yg banyak ngeluh dijalan.

Setibanya di Pos Ciboleger, kami bergegas mandi. Ada beberapa warung yg menyediakan pemandian. Kebetulan, aku diwarung makan. Gak begitu ramai. Ini lebih mirip tempat pribadi sih. hehe.

Elf yang akan membawa kami menuju Rangkas Bitung siap melaju. Perjalanan dari Ciboleger-Rangkas Bitung sangat berliku. Kondisi kami yang kelelahan, membuat kepala-kepala kami tertunduk, tersandar, bahkan terantuk-antuk kaca atau pegangan besi mobil. Kami harus bergegas, kereta Rangkas Bitung-Parung Panjang terakhir jalan jam 4 sore. Kurang 30 menit, kami tiba di stasiun Rangkas.

Dari stasiun Parung Panjang, perjalanan diteruskan dengan Commuter Line menuju stasiun Tanah Abang. Dari Tanah Abang, Commuter Line menuju ke Bekasi, transit dulu di Manggarai. ComLine yang ku tumpangi itu, menuju Bogor. Jam 9 malam itu, kereta Manggarai-Bekasi akhirnya datang. Menuju home sweet home. Rindu sekali dengan kasur nan empuk. Tidur nyenyak. Lelah.

Perjalanan yang amat menyenangkan, seru, dan melelahkan. Semoga, tulisan ini bermanfaat untuk pembaca. :)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

blogger yang baik, selalu meninggalkan jejaknya ;)

my review on goodreads

Pukat (Serial Anak-anak Mamak, Buku 3)Pukat by Tere Liye
My rating: 5 of 5 stars

buku ini membuat saya begitu bergetar. mamak yang galak, tapi penuh cinta dan kasih sayang. bapak yang lembut, namun penuh ketegasan.
mereka adalah contoh orang tua yang baik dalam mendidik anak2nya.

jaman sekarang, masih nemu gak ya orangtua yang kaya mereka ? atau, anak-anak macam pukat ?

View all my reviews