Minggu, 03 November 2013

Hadiah Terindah (lagi)

Aku tak tahu apa yang merasuki hati dan pikiranku malam itu.
Aku agak tersinggung saat suamiku hanya komentar lumayan untuk teh buatanku. Teringat paginya, saat aku buat martabak mi. "Abi, enak gak?" suamiku hanya manggut-manggut sambil meneruskan menghabiskan sisa martabak di piring.

"Abi, menghargai istri kan juga perlu. Bilang enak sekali-kali kek!" protesku.

"Kan, ga perlu diungkapin Yang... yang penting kan aku habisin."

Aku agak jengkel. Tapi mataku terlalu sibuk nonton TV. Ku simpan lagi perasaan itu. Perasaan ingin dihargai. Dinilai sebagai seorang istri.

Saat kami sudah beranjak ke kamar. Dikasur berdua, ku tatap punggung suamiku. Saat ia sedang sibuk memainkan Handphone, ku buka lagi pembicaraan yang jadi kekesalanku. Keluh kesahku selama ini.

"Abi emang ga pernah bisa hargai istri. Istri kan jg pengen sekali-kali dipuji. Dinilai sama suaminya. Kalau dibilang bagus, itu istri rasanya bangaaaa banget, Bi. Abi kenapa ga pernah bilang bagus. Tapi cuma lumayan" aku mendengus kesal.

"Aduh Sayang, enak kok. Kalau ga enak masa dihabisin?" Canda suamiku.

"Kamu juga ga pernah bilang aku Cantik. Bohong dikit gapapa kali, Bi" aku menimpali

"Aduh, kamu cantik banget malam ini, Sayang" masih menggodaku.

"Ah, udahlah... aku ga butuh pujian dari Abi. Ngarep sama Abi mah ga guna. Ngarepin Allah aja. Allah itu sebaik-baik pemberi nilai. Seadil-adilnya, Bi" kataku pasrah.

"Kenapa sih Yang ngarepin dinilai? Nilai itu cuma angka. Buatku, kamu itu gak ternilai. Apapun yang kamu kasih ke aku, gak akan aku protes. Karena itu gak ada nilainya, Yang. Kamu itu lebih dari apapun, pokoknya ga ternilai"

Dheg... batinku terenyuh. Hingga tawanya membuyarkan semuanya....

"Hahahaha, barusan aku ngomong gitu romantis gak? pasti kamu deg-degan tuh..." candanya.

"Ihh, aku ga butuh ! Udah ah aku mau tidur ! Tp sini pinjem HPnya dulu !" hardikku.

Ku buka home facebookku. Selintas satu-dua status. Hingga ku temukan sebuah status ;

""Hadiah tak selalu terbungkus dengan indah. Kadang, Allah membungkusnya dengan berbagai
masalah,namun didalamnya tetap ada berkah." 

Sejurus kemudian ku peluk suamiku dari belakang. Ku menangis di bahunya. Aku menangis hingga membasahi bahunya. Karena, baru saja aku merasa dipukul sesuatu yang tak nampak. Hatiku baru saja diingatkan tentang keindahan Syukur & Sabar. Suamiku tadinya diam saja, hingga ia merasakan air mataku yang hangat bertanya pernuh kebingungan.

"Kenapa Sayang?" Tanya suamiku bingung.

Aku sesenggukan, aku tak sanggup mengatakan yang sebenarnya. Kenyataan bahwa, aku terlalu bodoh menyadari ini semua. 

"Kenapa, Yang?" Tanyanya saat belum juga ada jawaban dariku. Saat ini ia telah memutar badannya untuk meraba wajahku. 

"Aku... aku takut Yang... hiks... takut saat aku meninggal lebih dulu, dan kamu tidak Ridho padaku. hiks hiks... Atau sebaliknya, saat kamu meninggal, hiks... kemudian kamu tidak Ridho padaku. hiks... Aku takut Yang. Aku takut kehilangan cintamu. hiks hiks" Jawabku seseunggukan. Makin banjir air mataku yang turun. Suamiku membelai lembut kepalaku. Memelukku dalam tangannya lebih erat. Dia memang pendiam. Kecuali untuk menggodaku, dia ahlinya. Selebihnya hanya diam. Buat dia, diam itu emas. Lebih baik diam saat marah, lebih baik diam jika tak bisa berkata baik. 

"Abi, bukankah hadiah itu tak selalu harus dibungkus kertas kado yang indah? Tak perlu pita indah, dan sebagainya. Terkadang, hadiah pun tak harus terbungkus indah dan rapi. Tapi itu tak merubah nilainya sebagai sebuah hadiah kan?" Aku masih sesenggukan... ya Allah... izinkan hamba untuk mengatakannya.

"Bi, ini rencana Allah untuk kasih Abi yang gak bisa muji aku. Ini hadiah dari Allah supaya aku lebih bersyukur, lebih bersabar. Allah kasih suami yang kaya Abi karena aku belum bisa sabar" Kata-kata itu meluncur atas izin perasaan yang teramat dalam setelah menyadari semuanya. Betapa Allah MahaKuasa atas segala sesuatu. Betapa Allah Sang Pemilik hati ini, dengan mudah saja membalikkan hatiku. 

Kami hening. Hanya suara tangisku, kipas angin, dan suara tv menemani. Kami hening. Mencerna masing-masing apa yang baru saja terjadi. Suamiku tetap terdiam. Tangannya lembut membelai kepalaku. Kemudian mengecup keningku. Aku makin memeluknya erat. Pelukan ini sungguh berarti lebih dari apapun yang harus suamiku katakan. Aku tak memerlukan balasan kata-kata darinya. Sungguh cukup kecupan itu membuatku lebih tenang. Dan aku lebih tenang, karena suamiku Ridho padaku. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

blogger yang baik, selalu meninggalkan jejaknya ;)

my review on goodreads

Pukat (Serial Anak-anak Mamak, Buku 3)Pukat by Tere Liye
My rating: 5 of 5 stars

buku ini membuat saya begitu bergetar. mamak yang galak, tapi penuh cinta dan kasih sayang. bapak yang lembut, namun penuh ketegasan.
mereka adalah contoh orang tua yang baik dalam mendidik anak2nya.

jaman sekarang, masih nemu gak ya orangtua yang kaya mereka ? atau, anak-anak macam pukat ?

View all my reviews